November 07, 2014

Tentang Ulama Perempuan Rahima

yang nulis isma di 1:28 PM
Kata Pengantar Editor
Buku Profil Ulama Perempuan Rahima

Sebagaimana istilah Ulama Perempuan yang masih terdengar asing, buku tetang profil dan best practice para ulama perempuan juga masih jarang dijumpai. Setidaknya saya baru mambaca satu buku dengan judul besar Ulama Perempuan Indonesia yang dikompilasi oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta, terbitan tahun 2002. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hanya sedikit perempuan muslim yang memiliki kapabilitas keulamaan dan melakukan pemberdayaan masyarakat, melainkan karena cerita panjang marginalisasi peran dan luputnya peran penting dan prestasi perempuan dalam catatan-catatan sejarah peradaban.

Dalam sebuah forum bertajuk “Ulama Perempuan dalam Wacana Islam: Sketsa Sejarah yang Masih gelap” yang digelar oleh P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) pada 25 Juni 1996 silam, Azyumardi Azra menyampaikan bahwa sejarah tentang ulama perempuan memang belum menjadi suatu sejarah yang terang benderang. Ia melihat ada dua pertanyaan yang bisa diajukan, yaitu terkait pendidikan keulamaan untuk perempuan dan penulisan tentang perempuan. Selama ini, kecenderungannya laki-laki masih mendominasi tradisi keulamaan atau keilmuan. Meskipun dalam tataran konsep ideal Islam, dinyatakan bahwa menuntut ilmu menjadi kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, tidak demikian dalam tataran pelaksanaan. Alhasil, kesempatan yang diperoleh perempuan dalam pendidikan Islam untuk sampai pada derajat keulamaan masih belum memenuhi.

Buku berjudul Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima yang ada di tangan pembaca ini adalah salah satu usaha untuk menjawab dua pertanyaan di atas. Rahima memfasilitasi peningkatan kapasitas keilmuan perempuan untuk membangun tradisi keulamaan di kalangan perempuan, dan menuliskan profil-profil perempuan kader ulama dalam sebuah buku untuk mengisi kekosongan referensi tentang ulama perempuan di Indonesia. Buku ini memuat 40 profil kader ulama perempuan yang pengikuti program Pendidikan Ulama Perempuan dan program Pendidikan Tokoh Agama yang dilakukan oleh Rahima. Bersumber dari data yang didapat melalui interview langsung dengan para kader, tulisan-tulisan dalam buku ini terbaca jujur, lugas, dan dekat dengan pengalaman perempuan.

Membaca dan mengedit 40 profil ulama perempuan merupakan kesempatan yang sangat berharga sekaligus menantang. Saya mengedit tulisan jadi yang ditulis oleh empat orang penulis dari Rahima. Profil-profil perempuan hebat dalam buku ini ditulis dalam bentuk feature yang bercerita tentang kehidupan dan proses yang mengantar mereka hingga menjadi seseorang di tengah-tengah komunitas dan masyarakat mereka. Tantangan pertama adalah menjaga keunikan setiap tulisan sekaligus menarik benang merah yang sama di antara tulisan-tulisan tersebut sesuai dengan kisi-kisi yang diharapkan oleh Rahima. Sementara pada saat yang sama profil-profil tersebut bukan tulisan individual.

Kedua, membutuhkan sense tersendiri untuk menghasilkan tulisan feature yang hidup dan terbaca enak. Saya memahami betul tantangan yang dihadapi oleh para penulis. Mereka harus meramu hasil interview, mengubah bahasa lisan ke dalam bahasa tulis, memutar otak untuk membuat tulisan profil yang tidak monoton antara satu dengan yang lain, meskipun draft pertanyaan interviewnya sama. Apalagi jika kegiatan yang dilakukan oleh para kader ulama perempuan hampir berdekatan sama satu sama lain. Para penulis harus menyiasati agar setiap tulisan bisa terbaca unik dan berbeda. Beberapa tulisan tampak sudah kaya, mencatat semua hasil pandangan mata, gerak-gerik responden, setting waktu dan tempat, dan hal-hal kecil yang memperkuat pemindahan realitas ke dalam tulisan, seperti tulisan berjudul “Iroh Suhiroh: Mendorong Perempuan Untuk Mandiri secara Ekonomi” dan “Afwah Mumtazah: Pendiri Madrasah Takhasus lil Banat”.

Untuk menghadirkan sense tersebut, saya juga membaca kembali hasil transcript interview, terutama untuk beberapa tulisan yang perlu pembenahan, hubungan antarkalimat yang belum selaras, atau elaborasi yang perlu penajaman. Sebagai pembaca kritis, saya kadang menjumpai bagian-bagian yang sebenarnya penting untuk dieksplore lebih mendalam namun bahan eksplorasinya tidak saya temukan di dalam transkrip wawancara. Meskipun demikian, kekurangan ini tidak mempengaruhi kekayaan pengalaman-pengalaman para tokoh. Saya banyak menemukan kisah perjuangan yang menarik dari tulisan-tulisan tersebut. Misalnya dalam “Umi Hanik: Bu Nyai Lawan Debat yang Tangguh”. Sebagai pendatang ia membangun komunitas pengajian Al-Qur’annya dari nol, hingga berkembang dengan ribuan jamaah. Ia menyebarkan pesan-pesan keadilan dan penguatan untuk potensi-potensi perempuan dalam setiap kesempatan. Ia bahkan berani berdebat dengan modin dan mengajukan diri ikut bahtsul masail yang sering didominasi oleh laki-laki.

Melalui cerita-cerita yang membentang dari Jawa Barat sampai Madura, saya menemukan bahwa setiap perempuan biasa berstrategi untuk melapangkan jalan pencapaian tujuan, dan mereka tentu sangat lihai memainkannya. Dalam “Nurul Sugiyati: Mendengar Suara Kekerasan” misalnya, kader ulama perempuan yang sering mendampingi korban kekerasan ini menuturkan strategi-strategi yang ia gunakan untuk pendidikan adil gender. Ia melakukan komunikasi di tingkat keluarga, komunikasi dengan tetangga di sekitar ligkungannya lewat pertemuan informal, seperti arisan dan pengajian, dan para siswa-siswi di tempat kerjanya, yaitu sekolah. Ia juga berjejaring dan membangun solidaritas bersama di kalangan perempuan serta memperkuat partisipasi politik perempuan dan melakukan advokasi kebijakan.

Buku ini merupakan catatan positif bagi perkembangan kiprah perempuan muslim di Indonesia dalam konteks keagamaan, dan oleh karena itu penting untuk diapresiasi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, “ulama perempuan” masih sebatas gagasan yang mengawang, seiring dengan banyaknya perempuan yang memperdalam pendidikan keulamaan dan adanya pengakuan atas kemampuannya, ia masih bisa untuk diusahakan. Para kader ulama perempuan Rahima mengaku mendapatkan nilai tambah melalui PUP yang mereka ikuti, dari semakin tumbuhnya rasa percaya diri, penajaman perspektif, penebalan keilmuan, sampai pengorganisasian dan advokasi. Kehadiran dan catatan-catatan tentang mereka adalah harapan bagi terangnya sejarah Ulama Perempuan di Indonesia.



Selamat membaca!

Yogyakarta, 18 Agustus 2014

0 komentar:

 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea