November 07, 2014

Komunitas Matapena:
Suara Santri Lewat Tulisan dan Sastra

yang nulis isma di 1:56 PM
Untuk mengisi waktu senggang di kamarnya, Gus Kapsul selalu membaca kitab. Kitab-kitab besar sejenis Ihya’, Fathul Wahab, Iqna’ dan Tafsir Jalalain. Pokoknya yang besar, yang bisa menjadi persembunyian buku teka-teki atau Wiro Sableng yang sedang dinikmatinya. Itu dulu, pas belum jihad fi sabili bola. Sekarang, yang dibacanya adalah tabloid Bola, Soccer, dan sejenisnya. Cuma masalahnya, kalau menyembunyikan buku teka-teki di balik kitab memang gampang. Lalu bagaimana dengan tabloid Bola? Karena yang disembunyikan ternyata lebih besar dari kitab persembunyiannya? (Laskar Hizib, hlm. 154)

Mahbub Jamaluddin dengan apik menuliskan kisah-kisah unik santri dalam salah satu novelnya itu yang terbit pada tahun 2007. Ia memang bukan satu-satunya penulis kisah ala santri, bukan juga penulis pertama yang mengisahkan cerita santri ke dalam novel, cerpen, atau puisi. Jauh sebelum Mahbub sudah ada Jamil Suherman, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Gus Mus, Abidah el-Khaliqi, Faizi Sareyang, dan nama-nama penting lainnya dalam kancah kesastraan Indonesia. Namun, bagi Komunitas Matapena, Mahbub dan para penulis seperti Zaki Zarung, Pijer Sri Laswiji, Shachree M. Daroini, Ma’rifatul Baroroh, dan S. Tiny menjadi gunting pita bagi lahirnya komunitas yang mempromosikan Gerakan Santri Indonesia Menulis ini.

Matapena memulai program roadshow ke pesantren-pesantren pada Desember 2005 berkat dukungan dana dari Penerbit LKiS Yogyakarta. Ia kemudian membuka keanggotaan bagi para santri dan siswa-siswi sekolah di Jawa dan Madura. Dengan bergabung menjadi anggota, mereka mengikuti training kepenulisan yang diadakan oleh Matapena secara cuma-cuma. Training biasanya dilaksanakan selama dua hari dengan materi pengayaan gagasan untuk ditulis meliputi pengalaman santri, nilai-nilai lokal pesantren yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul, kesetaraan gender, serta Living Values Education. Di samping materi tentang teknik kepenulisan dan praktik pembuatan media publikasi seperti majalah dinding, bulletin, atau blog. Saat ini tercatat sekitar 1200 anggota bergabung dengan Komunitas Matapena.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa menulis dan bersastra merupakan kegiatan ekstra yang menarik bagi santri dan remaja. Ini dapat dilihat tidak saja pada kiriman naskah yang banyak diterima oleh Matapena, tetapi juga pada pelaksanaan Liburan Sastra di Pesantren (LSdP) Pertama yang diadakan di Pesantren Kaliopak Yogyakarta tahun 2006. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 100 peserta dari pesantren di Jawa dan Madura. Mereka membayar kontribusi bahkan membiayai sendiri biaya perjalanan dari dan menuju lokasi kegiatan. Sebuah bentuk antusiasme dan kesukarelaan yang patut untuk diapresiasi. Bahkan hingga tahun ini, antusiasme untuk mengikuti LSdP Matapena masih terus mengalir.

Namun, seperti komunitas kepenulisan yang lain, Matapena pun mengalami pasang surut karena pengaruh intensitas para pengurus—dikenal dengan Penjaga Rumah Kreatif Matapena—yang masih bersifat voluntary, pengembangan program, dan pendanaan. Para penjaga Matapena yang kebanyakan adalah mahasiswa tentu memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja 8 jam demi komunitas, demikian juga penjaga yang berstatus guru atau karyawan. Tak jarang kegiatan yang sudah direncanakan tiba-tiba harus digagalkan karena kesibukan. Faktor pendanaan juga lumayan berpengaruh, sehingga ketika pihak donatur tidak lagi memberikan dukungan, gerakan fisik Matapena tidak lagi setrengginas dulu.

Lalu, apakah Komunitas Matapena kini sudah kehilangan kuku taringnya? Ini pertanyaan yang sangat menantang. Hampir seluruh penjaga dan orang-orang yang memiliki kedekatan struktural dan kultural dengan Matapena mengamini bahwa garakan Matapena bukan gerakan main-main. Ini adalah gerakan yang mengusung peradaban pesantren dalam konteks keindonesiaan, dan gerakan untuk menciptakan sejarah pesantren oleh para generasi muda pesantren. Matapena coba mengangkat tulisan unik para santri yang pada masa-masa maraknya chicklit dan teenlit akhir tahun 90an seperti tenggelam dalam lorong-lorong sempit bangunan pesantren. Ia juga menggebrak para santri untuk mencintai pengalamannya dan menuliskannya untuk masyarakat pembaca. Menjadi percaya diri dengan keilmuan dan Islam pesantren dan menyebarkannya melalui sastra dan tulisan.

Meskipun tidak sedikit yang nyinyir mengatakan bahwa pada masanya penulis santri akan kehabisan gagasan untuk dituliskan, atau mengatakan bahwa anggota Komunitas Matapena adalah anak-anak kemarin sore yang tidak penting untuk diperhitungkan. Mungkin kita lupa bahwa kehidupan dunia sudah jauh lebih dulu dituliskan dalam sastra sejak berabad-abad lampau, dan tak juga habis untuk diartikulasikan. Kita mungkin juga abai dengan paling tidak 30 novel pop pesantren yang mendeskirpsikan persinggungan antara pesantren dan issue-issue modernism, misalnya soal kesetaraan perempuan, salah satu contohnya adalah novel Jadilah Purnamaku Ning, yang ditulis oleh Khilma Anis. Karya fiksi juga memiliki kekuatan sebagai media pembelajaran bagi santri dan remaja pada umumnya, misalnya belajar tentang pubertas dan fikih seperti yang dideskripsikan Isma Kazee dalam novel Jerawat Santri.

Jadi, barangkali tidak ada alasan yang lebih kuat lagi bagi Komunitas Matapena untuk tetap bergerak dan membangun masyarakat santri dengan beberapa konsekuensi pengembangan yang harus dilakukan. Program dan kegiatan yang selama ini belum terlihat kejelasan outputnya barangkali perlu direformulasi. Penggunaan media untuk persebaran produk dan promosi komunitas juga penting untuk di-update dan dievaluasi keterjangkauan persebarannya, dan barangkali bisa dikembangkan untuk merawat dan memenej para anggota yang sudah berjumlah ribuan. Terakhir yang tak kalah penting adalah bagaimana melakukan kaderisasi dan capacity building bagi Penjaga Rumah Kreatif Matapena, serta menjaga spirit kesukarelaan dan semangat melahirkan inisiatif-inisiatif untuk memajukan komunitas (Isma KZ).

4 komentar:

Diah Kusumastuti said...

Waduh, saya ketinggalan banget, nih. Secara, saya bukan anak santri :) jadinya baru tahu tentang komunitas Matapena ini. Makasih, Mak, atas sharingnya :)

Diah Kusumastuti said...

Waduh, saya ketinggalan banget, nih. Secara, saya bukan anak santri :) jadinya baru tahu tentang komunitas Matapena ini. Makasih, Mak, atas sharingnya :)

admin said...

semoga matapena selalu eksis.

Lusi said...

Semoga berjaya mbak. Keinginan ortu untuk menyekolahkan anak2 ke pondok makin tinggi lo. Tapi kebanyakan teman2 saya mendaftarkan ke boarding school yg fasilitasnya lbh baik. Gpp yg penting tetap mengutamakan agama. Sedangkan pondok yg masih perlu mengembangkan pengetahuan memang butuh perhatian kita melalui komunitas2 seperti ini.

 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea