August 21, 2017

Menikmati Kuliner, Merasakan Keragaman Budaya di Australia

yang nulis Isma Kazee di 11:26 PM


Suatu sore di Melbourne, tepatnya di Fitzroy bagian utara, orang-orang tengah berdiri menunggu di emperan sebuah restoran. Pada jendela kaca dan sebuah papan nama berwarna putih yang ditempel cukup tinggi di dinding luar restoran, tertulis nama Moroccan Soup Bar. Ini adalah sebuah restoran yang menawarkan menu vegetarian dan diolah dengan bumbu khas Maroko. Tak cuma lewat masakannya, restoran yang terletak bersebelahan dengan toko The Old Post Office Antiques ini menampilkan identitas kemarokoannya melalui lukisan dan lampu-lampu sebagai hiasan interior. Tampak unik dan khas.

Kenangan tentang restoran ala Maroko ini membuka ingatan saya akan perjalanan Muslim Exchange Program 2014. Di antara sekian banyak perbincangan, diskusi, berbagi pengalaman, dan pembelajaran yang saya dapat lewat kunjungan ke organisasi dan lembaga, satu hal yang tak kalah menarik untuk diceritakan adalah tentang sajian kulinernya yang menggoda. Makanan-makanan ini berbeda-beda setiap harinya, membentangkan ragam budaya dan negara asal pengolahnya. Dan karena memang dimasak oleh juru masak dari negara asal makanan tersebut, soal rasa jangan ditanya enaknya.  

“Kami sengaja tidak menyediakan informasi menu tertulis, karena kami sendiri yang akan menjelaskan menu apa yang kami masak hari ini,” ucap Hanna Assafiri, sang pemilik Moroccan Soup Bar, begitu saya dan teman-teman sudah menempati dua deret meja persegi panjang di dalam restoran yang tak terlalu luas itu. Melalui menu yang dituturkan, Hanna merasa sambutan dan pelayanan kepada tamu berasa lebih personal karena face to face. Ia juga menjelaskan kalau restorannya tidak banyak mengambil untung dan hanya mempekerjakan perempuan untuk pemberdayaan. “Begitulah saya ingin menerapkan prinsip-prinsip Islam di restoran ini,” lanjutnya.

Menarik sekali, pikir saya. Apalagi baru sekali itu saya menikmati masakan Maroko dan mendapati ‘spoken menu’ yang diterapkan pemiliknya. Memiliki usaha restoran bukan semata untuk bisnis melainkan juga untuk memperkenalkan dan membangun kedekatan tentang nilai dan budaya asal mereka kepada warga setempat di tempat baru. Sajian asal warga pendatang secara perlahan berhasil menjembatani penerimaan dan pembauran nilai dan budaya. Jika dulu aroma kunyit dan jintan tercium aneh, misalnya, lambat laun kedua rempah itu justru menjadi daya tarik bagi warga setempat untuk menikmati makanan berkunyit dan berjintan itu lagi. Apalagi jika dibumbui dengan pendekatan personal seperti yang dilakukan Hanna. Ia tidak hanya menjelaskan menu yang akan disajikan, dengan senang hati ia juga bersedia berbagi cerita awal mula ia membangun restorannya.  

Pengalaman yang kurang lebih sama saya alami ketika saya tinggal bersama host family untuk satu malam di pinggiran Melbourne. Host family saya secara budaya lebih dekat dengan Malay karena Ibu berasal dari Singapore, meskipun sang Ayah berasal dari Australia. Mereka memiliki dua anak yang lucu, perempuan dan laki-laki. “Kita akan pergi makan pho di restoran Vietnam,” jelas Ibu. “Isma sudah pernah makan pho?” lanjutnya. Saya mengangguk. “Saya suka pho. Itu termasuk makanan favorit.” Berlima kami satu mobil sedan menuju Zin Viet Authentic Vietnamese restaurant. Saya duduk di jok tengah bagian belakang, diapit dua car seat untuk balita di sebelah kanan dan kiri. Sementara Ibu pegang setir dan Ayah di sebelahnya.

Selain saya, Ibu juga mengundang tiga keluarga Malay yang lain untuk ikut bergabung. Mereka datang bersama anak-anak mereka yang juga masih kecil-kecil. Meskipun cara sajian menu di restoran ini masih konvensional, dengan ditulis, saya tetap merasakan bagaimana pho yang bukan masakan khas negara saya juga keluarga yang lain, bisa kami terima dan nikmati bahkan menjadi makanan favorit. Sepanjang kami menikmati pho, mengalir juga obrolan tentang kehidupan di Melbourne, kabar keluarga di Singapore, cerita tentang liburan atau restoran pho lain yang biasa mereka singgahi. “Ini restoran baru, dan kami mau ke sini karena halal,” jelas Ibu.

Pada kesempatan lain, ketika saya dan teman-teman berkunjung ke sebuah masjid tua di Soperton, seorang perempuan berjilbab datang menghampiri kami. “Apakah kalian sudah makan?” ia bertanya. Saya melempar pandang ke arah Tara meminta persetujuan. Kami belum makan, tapi menerima tawaran makan dari orang asing? Saya masih merasa tidak aman dan nyaman. Ini bukan soal makanan enak atau tidak enak, melainkan tentang keamanan. “Kami baru saja mengadakan syukuran, dan masih banyak makanan tersisa. Kami mengundang kalian untuk makan di rumah kami,” jelasnya lagi. Menangkap maksud baik si Ibu, saya dan teman-teman pun mengangguk menerima ajakan makan malam di rumahnya.

Kami hanya perlu menyeberang jalan beraspal di depan masjid untuk sampai di rumah si Ibu. Selain si Ibu, ada dua perempuan berjilbab lain yang membantu untuk menyiapkan makan malam kami. Sambil menikmati sajian masakan India, setelah yang pertama kami menikmatinya di restoran Curry Vault di Melbourne, kami saling bercerita. Si Ibu dan suaminya berasal dari Hyderabad, India tapi sudah lama menetap di Soperton. Satu orang perempuan dari Indonesia, dan setelah melewati proses panjang akhirnya bisa tinggal di Australia. Sementara satunya lagi lahir dan besar di Australia dan baru saja masuk Islam, dan untuk itulah ia mengadakan syukuran. Kami bercerita seperti kawan lama yang sudah saling kenal sebelumnya. Padahal, kami baru beberapa jam lalu bertemu di halaman bagian dalam masjid untuk jamaah puteri.

Dan masih banyak cerita-cerita di sela-sela sajian menu yang beragam sepanjang dua minggu perjalanan MEP 2014. Saya yang lahir dan tumbuh di lingkungan Jawa Indonesia, ketika berkunjung ke Australia ternyata mendapat suguhan masakan rasa Indonesia, Malaysia, Vietnam, India, Maroko, Turki, dan masih banyak lagi, bahkan hingga Uighur. Sambil saya menikmati kuliner, saya pun merasakan keragaman budaya di Australia.

___________________________________
sumber: 
Nor Ismah, "Menikmati Kuliner, Merasakan Keragaman Budaya di Australia", Yanuardi Syukur (Ed.) Hidup Damai di Negeri Multikultur: Pengalaman Peserta Pertukaran Tokoh Muda Muslim Australia-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2017)

0 komentar:

 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea